Perkembangan teknologi dan perluasan pasar menyebabkan penggunaan dan produksi peralatan elektronik terus meningkat di seluruh dunia selama dua dekade terakhir. Pergantian benda elektronik akibat kerusakan menyebabkan meningkatnya jumlah sampah elektronik secara signifikan [3]. Waste electrical and electronic equipment (WEEE) menjadi suatu permasalahan yang serius bagi lingkungan, material penyusun yang sulit terurai dan mengandung bahan berbahaya dan beracun dapat memberikan dampak buruk bagi lingkungan.
Sampah elektrik dan elektronik mencakup berbagai jenis
barang, mulai dari peralatan rumah tangga besar dan kecil, peralatan teknologi
dan informasi seperti komputer,
video game,
peralatan komunikasi seperti telepon seluler dan alat telekomunikasi lain,
peralatan elektronik portable seperti
kamera, perekam audio, mp3 player, dan peralatan kelistrikan lainnya [1].
Perkembangan produk elektronik yang tidak selaras dengan inovasi terkait daur ulang menyebabkan penumpukan sampah elektronik dalam jumlah besar. Dari 54,6 juta ton sampah elektronik yang dihasilkan, diperkirakan hanya 17,4% yang ter data dan didaur ulang dengan baik [4]. Berdasarkan UN Global E-waste Monitor Report, pada tahun 2020 Asia menjadi penghasil sampah elektronik terbesar di dunia dengan jumlah mencapai 24,9 juta ton. Jumlah tersebut hampir setara dengan setengah dari total produksi sampah elektronik global. Hal ini menunjukkan bahwa Asia memiliki posisi penting dalam upaya pengelolaan sampah elektronik yang terus meningkat dari tahun ke tahun [2].
Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di Asia per tahun 2020, dan diproyeksikan menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke lima di dunia pada tahun 2050, Indonesia menjadi salah satu konsumen produk elektronik terbesar dan juga berpotensi menjadi penghasil sampah elektronik terbesar [6][5]
Sebuah penelitian oleh Mairizal (2020) menunjukkan bahwa
terdapat kurang lebih 6 unit produk IT (PC Desktop, laptop, ponsel dan tablet )
per rumah tangga di Indonesia pada tahun 2020. Penelitian ini juga
memproyeksikan jumlah timbulan sampah elektronik sebanyak 7,3 kg per kapita
pada tahun 2021 dan meningkat menjadi 10 kg pada tahun 2040.
Proyeksi sampah elektronik hingga tahun 2040 (mt). Sumber: Mairizal et al. (2021) |
Saat ini, Indonesia belum memiliki peraturan yang khusus
mengatur terkait dengan sampah elektronik, sehingga masih mengacu pada
peraturan terkait pengelolaan limbah yaitu PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Limbah B3, UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, PP
Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik yang juga memuat
terkait sampah elektronik mengandung B3 [5].
Selain potensi dampak buruk terhadap lingkungan, di satu sisi sampah elektronik memiliki potensi nilai ekonomi yang baik yang berasal dari logam penyusun komponen elektronik seperti tembaga, emas, perak, platinum, hingga palladium. Logam-logam ini umumnya terkandung dalam Printed Circuit Board (PCB) yang merupakan bagian penting dalam suatu peralatan elektronik. Pada tahun 2020, sebanyak 12,5 kt tembaga (Cu), 119 ton perak (Ag), 21 ton emas (Au), 54 ton Paladium (Pd) dan 10 ton Platinum (Pt) yang dapat dimanfaatkan kembali. Hanya 5% dari total produk IT di Indonesia yang telah melalui proses daur ulang dengan nilai ekonomi ±93 juta USD dan kehilangan 1,8 miliar USD dari sampah yang tidak didaur ulang. Proyeksi sampah elektronik di Indonesia tahun 2040 menunjukkan potensi nilai ekonomi mencapai 14 miliar USD [5].
Dengan potensi pencemaran lingkungan dan potensi ekonomi yang sangat tinggi, diperlukan sistem pengelolaan sampah elektronik yang ramah lingkungan dan sistem daur ulang sampah elektronik yang baik untuk pemanfaatan material yang memiliki nilai ekonomi. Proses pengumpulan dan pengelolaan sampah elektronik memerlukan sistem yang kompleks dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait. Pengelolaan sampah elektronik mencakup sistem teknis, hingga sosial masyarakat. Sayangnya saat ini pengelolaan sampah elektronik di Indonesia tertinggal sangat jauh dibandingkan dengan negara-negara maju [5].
Program 4R (Reduce, Replace,
Reuse and Recycle) dapat diterapkan untuk program pengelolaan sampah
elektronik dengan pengembangan infrastruktur pengelolaan sampah elektronik,
peningkatan fasilitas daur ulang dengan bekerja sama dengan pihak swasta,
hingga proses pengumpulan dan jual beli sampah elektronik dengan sektor
informal [7].
Adapun tantangan yang harus dihadapi di Indonesia dalam
pengelolaan sampah elektronik diantaranya adalah Sebaran geografis sampah,
faktor sosial ekonomi yang berbeda pada masing-masing daerah, praktik daur
ulang secara tradisional yang tidak mempertimbangkan dampak lingkungan, belum
adanya perundang-undangan
yang khusus mengatur terkait sampah elektronik [5]
Image: Freepik.com
Sumber:
0 Comments