Homo sapiens, Spesies Paling Destruktif di Bumi Sejak Zaman Prasejarah

Homo sapiens

Manusia adalah makhluk hidup yang menyebabkan perubahan besar terhadap struktur ekosistem di Bumi. Meningkatnya populasi manusia berpengaruh terhadap kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Hal ini tentunya menyebabkan pengaruh langsung dan tak langsung terhadap perubahan kondisi di Bumi untuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Deforestasi, polusi, hingga pemanasan global adalah contoh pengaruh buruk manusia khususnya sejak masa revolusi Industri. Akan tetapi, sifat destruktif manusia tidak hanya dimulai pada kurun waktu 500 tahun terakhir, tapi jauh sebelum itu sejak masa pemburu-pengumpul (hunter-gatherer). 

Revolusi kognitif pada manusia sebagai spesies menyebabkan lompatan besar yang menyebabkan manusia (Sapiens) yang dulunya menjadi spesies terpinggirkan (inferior), saat ini justru menjadi spesies paling berpengaruh di Bumi [3]. Hal ini bermula ketika manusia berhasil menjinakkan api sekitar 800.000 – 1.000.000 tahun yang lalu. Api menjadi sumber cahaya, kehangatan, dan bahkan senjata perlindungan untuk manusia dari ancaman seperti singa. Dengan api, manusia mulai menciptakan perbedaan besar dengan makhluk hidup lain yang hanya mengandalkan kekuatan tubuh seperti otot, gigi, hingga sayap [2]. Manusia mulai dapat mengonsumsi makanan yang sulit dicerna dengan cara memasak. Sejak saat itu, manusia berevolusi menjadi makhluk yang memiliki kendali atas ekosistem. Berikut adalah beberapa pengaruh manusia pada ekosistem pada masa prasejarah:

Kebakaran dan Perubahan Ekosistem

     Api menjadi batu loncatan awal manusia menjadi spesies paling berpengaruh, manusia mulai menggunakan api untuk berburu dan mengumpulkan makanan. Nenek moyang kita mulai dengan sengaja membakar semak belukar dan hutan yang sebelumnya sulit dan berbahaya untuk dilalui. Ketika api padam, para leluhur zaman ini dapat mengumpulkan hewan, kacang-kacangan, hingga umbi yang terpanggang oleh api [3]. Hal ini memungkinkan manusia mengonsumsi lebih banyak jenis makanan yang sebelumnya sulit dicerna dan memudahkan manusia dalam mengumpulkan makanan. Selain itu sejak revolusi pertanian (10.000 tahun yang lalu), manusia mulai mendomestikasi hewan, membuka lahan pertanian, dan menanam tanaman seperti gandum, ercis, kacang india, dan terus bertambah seiring berjalannya waktu [4][6]. Hal ini menyebabkan perubahan pada struktur ekosistem akibat dibukanya lahan-lahan pertanian dan perubahan populasi spesies tumbuhan dan hewan.

Kepunahan Flora dan Fauna

Manusia telah dikaitkan dengan proses kepunahan berbagai spesies. Salah satunya adalah Diprotodon, hewan besar asal Australia. Hewan ini diperkirakan berhasil melalui siklus jaman es yang pernah terjadi di Bumi pada 75.000 tahun yang lalu. Akan tetapi, ditemukan jejak terjadinya kepunahan Diprotodon dan 90% megafauna lain di Australia pada masa yang sama saat manusia tiba di benua Australia. Sebuah teori menjelaskan bahwa Diprotodon memiliki kemampuan reproduksi yang buruk, perburuan oleh manusia menyebabkan angka kelahiran spesies ini lebih rendah dibandingkan angka kematian yang menyebabkan kepunahan. 

Teori lain menjelaskan bahwa manusia menggunakan api untuk membakar Semak dan mengubah ekologi secara besar besaran untuk mendapatkan buruan dan terus berlangsung dalam beberapa milenium singkat. Teori ini didukung dengan bukti fosil tumbuhan yang menunjukkan bahwa Eukaliptus bukanlah spesies tumbuhan dominan di Australia pada 45.000 tahun silam. Akan tetapi, pembakaran lahan oleh manusia menyebabkan tumbuhan yang mampu tumbuh dengan baik setelah kebakaran ini berkembang dengan baik menggantikan tumbuhan lain. Hal ini menyebabkan perubahan pada struktur hewan yang mendominasi Australia. Koala adalah hewan pemakan Eukaliptus, melimpahnya tanaman ini menyebabkan Koala mampu bertahan hingga saat ini [1][7]. 

Tidak hanya di Australia, kepunahan Mamut di wilayah Artika, punahnya 34 dari 47 genus mamalia di Amerika Utara dan spesies seperti Macan Gigi Pedang, Kukang Tanah raksasa, Kuda asli Amerika, Unta asli Amerika, dan spesies-spesies lain juga punah dengan adanya jejak kehadiran manusia di masa yang sama. Akan tetapi, teori-teori tersebut tidak dapat dipisahkan sepenuhnya dengan proses perubahan iklim yang juga terjadi pada masa tersebut yang juga memiliki andil pada kepunahan spesies. [3][5]

Kepunahan Spesies Manusia Lain

Tidak hanya kepunahan bagi flora dan fauna, manusia (Sapiens) juga diperkirakan menjadi penyebab kepunahan spesies manusia lain. Selain Sapiens, terdapat spesies manusia lain pada 70.000 tahun yang lalu seperti Homo neanderthal pada wilayah Timur Tengah dan Eropa. Spesies manusia ini memiliki otot, dan otak yang lebih besar daripada Sapiens, serta memiliki kemampuan beradaptasi yang lebih baik. Sebuah teori menjelaskan bahwa Sapiens mendorong spesies ini menuju kepunahan. Kemampuan komunikasi dan sosial Sapiens menyebabkan mereka memiliki koloni dengan jumlah yang lebih besar, berburu secara masif dan menyebabkan terimpitnya populasi Neanderthal. 

Teori lain menyebutkan bahwa persaingan perebutan sumberdaya bahkan menyebabkan Sapiens melakukan genosida pada spesies lain. Teori ini didukung oleh bukti bahwa terjadi kepunahan spesies manusia lain tak lama setelah Sapiens menduduki wilayah tersebut, seperti Homo soloensis (50.000 tahun lalu), Homo denisova, hingga Homo floresiensis. Akan tetapi, teori lain mengatakan bahwa punahnya spesies manusia lain dapat disebabkan karena teori “kawin campur” antara Sapiens dengan Neanderthal, dan Erectus hingga spesies ini melebur menjadi manusia modern

Hal ini didukung dengan temuan adanya 1-4% DNA Neanderthal yang ditemukan pada populasi modern di Timur Tengah dan Eropa, tapi hal ini masih menjadi perdebatan apakah terdeteksinya DNA tersebut disebabkan akibat kawin campur? Di satu sisi “Teori Penggantian”  menjelaskan tentang ketidakcocokan, perasaan jijik, perbedaan anatomi, hingga bau yang berbeda menyebabkan Sapiens memiliki kemungkinan yang kecil untuk memiliki ketertarikan seksual kepada spesies manusia lain. Selain itu, perbedaan genetik menyebabkan kemungkinan kecil untuk menghasilkan keturunan yang subur. Kejadian genosida di masa modern seperti yang terjadi pada Suku Indian, Aborigin, Armenia, dan lain-lain semakin memperkuat teori tersebut [3].

Pengaruh Sapiens sebagai spesies terus berlanjut dari masa ke masa. Revolusi industri yang dimulai pada abad ke-17 menjadikan manusia menjadi spesies yang semakin superior dan hampir memiliki kontrol penuh terhadap ekosistem yang ada di Bumi. Pemanasan global, perubahan iklim, kerusakan ekosistem darat dan laut, hingga pencemaran, adalah kerusakan lain yang termasuk dalam daftar dosa umat manusia. Akan tetapi, sebagai makhluk cerdas manusia mulai memahami posisi dan tanggung jawabnya dalam pengelolaan lingkungan. Upaya-upaya pemulihan, perlindungan, dan pengelolaan lingkungan mulai digalakkan secara global.

Image: Sapiens.org

Sumber:

1. Alroy, J. (2001). A multispecies overkill simulation of the end-Pleistocene megafaunal mass extinction. Science292(5523), 1893-1896.
2. Gibbons, A. (2007). Paleoanthropology. Food for thought. Science (New York, NY)316(5831), 1558-1560. 
3. Harari, Y. N. (2014). Sapiens: A brief history of humankind. Random House.
4. Heun, M., Schafer-Pregl, R., Klawan, D., Castagna, R., Accerbi, M., Borghi, B., & Salamini, F. (1997). Site of einkorn wheat domestication identified by DNA fingerprinting. Science278(5341), 1312-1314. 
5. Meltzer, D. J. (2021). First peoples in a new world: Populating ice age America. Cambridge University Press.
6.Patterson, C. (2002). Eternal Treblinka: Our treatment of animals and the Holocaust. Lantern Books. 
7. Wroe, S., & Field, J. (2006). A review of the evidence for a human role in the extinction of Australian megafauna and an alternative interpretation. Quaternary Science Reviews25(21-22), 2692-2703.

0 Comments