Filosofi Wabi-Sabi
Wabi-sabi adalah konsep budaya dan filosofis dari Jepang,
dan dianggap sebagai salah satu konsep yang paling berpengaruh terhadap budaya
Jepang. Konsep ini berpengaruh kuat pada seni, arsitektur, desain, dan gaya
hidup Jepang, serta telah menjadi semakin populer di seluruh dunia. Istilah
wabi-sabi terdiri dari dua karakter kanji, "wabi" dan
"sabi" (侘寂).
Kedua kata tersebut memiliki makna yang yang berlawanan.
Kata "Wabi" bermakna kesederhanaan, kerendahan hati, dan
ketidakmewahan, sementara "sabi" mengacu pada keindahan, keteduhan,
dan kelembutan. Sehingga secara harfiah wabi sabi berarti keindahan yang ditemukan
dalam kesederhanaan dan ketidaksempurnaan.
Wabi-sabi adalah konsep yang kompleks, namun secara garis
besar terdiri dari tiga elemen utama yaitu Wabi, Sabi, dan Shibui. Wabi merujuk
pada kesederhanaan, keteduhan, dan keunikan yang ada di sekitar kita. Sabi
mengacu pada ketidaksempurnaan, kerapuhan, dan pengaruh waktu. Sedangkan Shibui
merujuk pada keindahan dalam kesederhanaan, dan kesederhanaan dalam keindahan.
Melihat sejarah Wabi-Sabi, filosofi ini berakar dari Zen
Buddhisme, yaitu campuran dari Buddhisme Mahayana India dan Taoisme yang dibawa
ke Jepang oleh biksu Cina pada awal abad ke-12. Filosofi zen menekankan pada
kesederhanaan, keindahan, dan hubungan dengan alam, yang kemudian berkembang
menjadi salah satu filosofi jepang yang terkenal.
Wabi-Sabi dan Alam
Filosofi ini juga berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari
masyarakat Jepang, termasuk pandangan masyarakat dalam mengelola dan menghargai
alam. Jepang merupakan negara yang sangat dekat dengan alam, filosofi ini
memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan. Konsep ini mengajarkan untuk
memperlakukan alam dengan hormat dan menghargai keindahan yang terdapat di
dalamnya.
Konsep ini mendorong untuk merawat lingkungan alami dan
meminimalisir dampak negatif manusia terhadap alam. Hal ini tercermin dalam
praktik-praktik seperti penggunaan energi terbarukan, daur ulang, dan praktik
pertanian organik.
Wabi-sabi sering dihubungkan dengan konsep "mottainai”,
yang merupakan prinsip untuk tidak menyi-nyiakan sesuatu, termasuk sumberdaya.
Konsep ini mendorong manusia untuk hidup minimalis, dengan merawat dan
memperbaiki barang-barang yang rusak daripada membuangnya dan menggantinya
dengan yang baru. Prinsip ini juga menekankan pada penggunaan sumberdaya secara
bijak dan tidak berlebih. Hal ini merupakan salah satu contoh implementasi
“zero waste” dan daur ulang yang dapat menurangi limbah dan konsumsi
sumberdaya.
Konsep wabi-sabi juga terlihat dalam arsitektur Jepang.
Bangunan tradisional jepang umumnya menggunakan design yang sederhana, berfokus
pada fungsi, dan menggunakan bahan alami. Salah satu contoh arsitektur Jepang
yang menggambarkan konsep ini adalah kuil-kuil tradisional, seperti Kuil
Kiyomizu-dera di Kyoto.
Bangunan-bangunan ini sering memiliki dinding kayu yang
tidak rata, atap yang terbuat dari jerami atau genting, dan bahan-bahan lain
yang menunjukkan keindahan alami. Interior bangunan biasanya sangat sederhana,
dengan penggunaan tatami (tikar tradisional jepang) pada lantai dan dinding
kayu yang tidak dihias dengan berlebihan.
Konsep wabi-sabi juga dapat dilihat pada Taman Jepang (Zen
Garden) yang dirancang untuk menciptakan suasana yang tenang dan alami. Taman
Jepang sering mengandung elemen-elemen seperti air, batu, dan tanaman, dan
mereka sering dirancang untuk menggambarkan keindahan yang sederhana dan tidak
sempurna.
Source: Japanese-Tc |
Penerapan Konsep Wabi-Sabi pada Kehidupan Sehari-hari
Konsep Wabi-sabi telah berkembang di tengah masyarakat
jepang bahkan dunia. Konsep ini menjadi populer karena relevan dengan konsep
minimalis yang menjadi trend di era modern. Berikut beberapa contoh penerapan
Wabi-Sabi dalam kehidupan sehari-hari:
Hidup Minimalis
Konsep wabi-sabi mengajarkan tentang kesederhanaan, dan
tidak berlebihan. Hal ini sangat relevan dengan konsep minimalis di era modern.
Mengurangi konsumsi barang-barang yang tidak terlalu penting, melakukan reuse
dan recycle pada barang yang masih berguna, dapat membantu mengurangi
penggunaan sumber daya alam yang berlebih.
Memilih bahan alami dan ramah lingkungan
Konsep wabi-sabi mendorong penggunaan bahan-bahan alami yang
lebih ramah lingkungan, seperti kayu, bambu, atau rotan. Dengan memilih bahan
alami, kita dapat mengurangi dampak lingkungan yang dihasilkan dari bahan
sintetis atau plastik.
Menjaga Alam
Konsep wabi-sabi mendorong manusia untuk menjaga hubungan
dengan alam. Dalam konteks lingkungan hidup, hal ini dapat diterapkan dengan
menghargai dan menjaga lingkungan alamiah, meminimalisir kerusakan lingkungan,
serta mempertahankan keberadaan spesies tumbuhan dan hewan.
Konsep wabi-sabi memiliki filosofi yang dalam dan dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk menciptakan lingkungan yang lebih
tenang, sederhana, dan dekat dengan alam. Dalam pengaplikasiannya, konsep ini
dapat membantu kita meminimalisir dampak lingkungan negatif dan menciptakan
lingkungan yang lebih ramah lingkungan. Oleh karena itu, mari kita terapkan
konsep wabi-sabi dalam lingkungan kita dan menjadi bagian dari upaya untuk
memelihara lingkungan yang lebih baik.
Image: Oishya
Sumber:
- Yang, J. (2021). The Meaning and Expression of Wabi-Sabi in Environmental Art Design. Pacific International Journal, 4(2), 45-48.
- Kempton, B. (2018). Wabi Sabi: Japanese wisdom for a perfectly imperfect life. Hachette UK.
- Du, Y., & Joo, S. (2021). The influence of cultural information design and the classification of spiritual guidance, based on the cases of Japanese Wabi-Sabi. International Journal of Contents, 17(1), 27-36.
0 Comments