Suku Bajo: Kearifan Nenek Moyang Dalam Menjaga Laut

Suku Bajo adalah kelompok etnis yang tinggal di kawasan Timur Indonesia yang mencakup Sulawesi, Nusa Tenggara, Kalimantan Timur, Hingga Sabah Malaysia, dan Kepulauan Sulu di Filipina. Suku Bajo juga disebut sebagai Bajau atau Sama-Bajau, dikenal sebagai suku penjelajah laut yang hidup nomaden di atas perahu atau rumah apung. Suku ini menjadi inspirasi sutradara film James Cameron dalam film Avatar 2: The Way of Water

Suku Bajo dipercaya berasal dari Kepulauan Sulu Filipina Selatan. Kebiasaan suku bajo yang hidup nomaden di laut lepas membawa mereka menjelajah dan menyebar hingga ke perairan Indonesia.

Dilansir dari laman indonesia.go.id, Suku Bajo disebut berasal dari Kepulauan Sulu di Filipina Selatan yang hidup di lautan lepas, hingga membawa mereka berkelana ke berbagai negara. Dari perairan Sulu (Filipina), mereka menyebar ke perairan laut Sabah (Malaysia), Thailand, dan juga Indonesia. Meskipun tersebar di berbagai wilayah, mereka umumnya menggunakan rumpun Bahasa Austronesia.

Kehidupan Suku Bajo

Suku Bajo merupakan kelompok masyarakat pesisir yang sangat menggantukan hidup mereka dengan laut. Mereka tinggal di rumah apung atau perahu yang disebut dengan lepa-lepa dan membangun perkampungan terapung di atas perairan laut dangkal. Lepa-lepa adalah rumah apung yang dibangun di atas air, terbuat dari kayu atau bambu yang diikat dengan rotan.

Karena hidup diatas perairan, suku Bajo mengandalkan hidup mereka dari hasil laut sebagai bahan makanan. Mereka menggunakan Teknik dan alat tangkap yang efektif dan ramah lingkungan seperti harpoon, pancing, dan perangkap. Meskipun hidup di laut, terkadang masyarakat Bajo juga pergi ke daratan untuk memperoleh bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari yang tidak dapat mereka peroleh di laut.

Masyarakat Bajo terkenal dengan keahlian mereka dalam menjelajah laut dan memiliki kemampuan berenang yang baik. Mereka mampu menahan nafas dalam waktu yang relatif lama sehingga memudahkan mereka untuk menyelam dan berburu di kolom perairan. Kemampuan mereka dalam menyelam dipengaruhi oleh evolusi genetik orang bajo. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat bajo memiliki ukuran limpa 50% lebih besar dari manusia pada umumnya. Hal ini berpengaruh terhadap kemampuan sel darah merah dalam mengikat oksigen.

Saat ini, masyarakat Bajo tidak lagi hidup secara nomaden seperti leluhur mereka. Mereka hidup menetap bahkan mulai membuat pemukiman di daratan. Mereka mendiami pulau-pulau di kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean.

Suku Bajo dan Lingkungan Laut

Suku Bajo merupakan kelompok masyarakat yang sangat peduli lingkungan. Mereka memiliki aturan-aturan adat yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Suku Bajo juga menerapkan aturan terkait waktu dan Teknik penangkapan ikan. Mereka hanya menangkap ikan dengan jumlah yang cukup dan tidak berlebih, dan melakukan penangkapan dengan teknik penangkapan yang ramah lingkungan. Mereka menggunakan alat tangkap berupa pancing, jaring, perangkap, bahkan tombak.

Mereka memiliki aturan terkait proses melaut untuk penangkapan ikan. Selama proses mamia kadialo (melaut), terdapat pantangan bagi mereka yang sedang melaut dan keluarga yang ditinggal melaut. Pantangan tersebut berupa larangan membuang sampah dan limbah apapun ke laut seperti air cucian, arang atau abu dapur, punting rokok, air cabai ke laut, dan mencuci peralatan memasak di laut. Limbah-limbah tersebut harus ditampung dan dibuang di daratan. Selain membuang limbah, juga terdapat pantangan untuk memakan daging penyu karena dipercaya dapat menolong manusia saat mengalami musibah. Jika pantangan-pantangan ini dilanggar, maka dipercaya dapat mendatangkan malapetaka seperti badai, gangguan mistis, dan tidak mendapatkan hasil selama proses melaut.

Masyarakat Bajo juga percaya bahwa gugusan terumbu karang menjadi tempat tingggal arwag para leluhur, sehingga terdapat larangan untuk menangkap ikan di sekitar ekosistem terumbu karang, kecuali melakukan ritual tertentu terlebih dahulu.

Selain berkaitan dengan kepercayaan, pantangan-pantangan ini memiliki filosofi mendalam terkait konservasi untuk menjaga ekosistem laut tetap terjaga. Membuang limbah dapat mengotori dan mencemari perairan laut. Sedangkan ekosistem terumbu karang merupakan tempat berlindung bagi berbagai biota, tempat memijah (berkembang biak), dan tempat tumbuh ikan ikan muda (juvenil). Selain itu, terumbu karang menjadi salah satu penahan gelombang yang melindungi pantai dari kerusakan. Masyarakat bajo meyakini adanya hukum alam dan akan menyebabkan bencana jika ada yang melanggar aturan-aturan adat.

Kesimpulan

Suku Bajo dipercaya berasal dari Kepulauan Sulu Filipina Selatan. Kebiasaan suku bajo yang hidup nomaden di laut lepas membawa mereka menjelajah dan menyebar hingga ke perairan Indonesia. Suku Bajo merupakan masyarakat yang menggantungkan hidupnya di atas perairan laut. Oleh karena itu, mereka memiliki pendekatan tradisional untuk menjaga kelestarian ekosistem laut melalui aturan aturan yang diwariskan turun-temurun. Mereka menggunakan Teknik dan alat tangkap yang efektif dan ramah lingkungan seperti harpoon, pancing, dan perangkap.

Image: Thalmaray.co
Sumber:

  • CNBC. 2022. Suku Bajo RI: Inspirasi Film Avatar, Angkat Isu Konservasi. Diakses pada 27 April 2023: https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20221223063213-33-399427/suku-bajo-ri-inspirasi-film-avatar-angkat-isu-konservasi/2
  • Gaus, A. (2010). Masyarakat Suku Bajau: Sejarah, Budaya, dan Perkembangannya di Nusantara. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
  • Hasrawaty, E., Anas, P., Wisudo, S.H. 2017. Peran Kearifan Lokal Suku Bajo dalam Mendukung Pengelolaan Kawasan Konservasi di Kabupaten Wakatobi. Jurnal Penyuluhan Perikanan dan Kelautan: 11(1)
  • Jolly, D. (2007). The Sea Nomads of Southeast Asia: Past and Present. Bangkok: River Books.
  • Mongabay. 2014. Kearifan Suku Bajo Menjaga Kelestarian Pesisir dan Laut. Diakses pada 27 April 2023: https://www.mongabay.co.id/2014/01/26/kearifan-suku-bajo-menjaga-kelestarian-pesisir-dan-laut/
  • Wirawan, I. M. (2014). Identitas dan Hubungan Suku Bajo di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 3(2), 117-130.

0 Comments