Peluncuran roket menjadi sarana penting bagi manusia dalam eksplorasi luar angkasa. Dengan peluncuran roket, penelitian dan eksplorasi antariksa memungkinkan kita mempelajari asal usul dan evolusi alam semesta. Oleh karena itu, pengembangan roket untuk peluncuran ke ruang angkasa sangat penting dalam hal kemajuan teknologi navigasi, keamanan, komunikasi, observasi iklim, dan perekonomian.
Namun, di balik manfaat besar bagi kehidupan manusia, peluncuran roket memerlukan energi dan bahan bakar yang besar untuk menghasilkan energi dorong yang bisa membawa roket ke luar atmosfer Bumi. Efek sampingnya adalah emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar yang sangat besar, dan berpotensi menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan. Peluncuran roket menghasilkan banyak emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida, metana, dan nitrogen oksida. Emisi gas rumah kaca yang tinggi dapat berdampak pada pemanasan global, perubahan iklim, dan berpotensi mengganggu kesehatan manusia.
Menurut penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Environmental Research Letters, emisi gas rumah kaca dari peluncuran roket meningkat tiga kali lipat dari tahun 2000 hingga 2015. Jumlah karbon yang dilepaskan selama peluncuran roket tergantung pada jenis dan bahan bakar roket yang digunakan. Menurut laporan NASA, beberapa jenis roket seperti Atlas V menggunakan bahan bakar hidrogen, oksigen cair, dan tidak menghasilkan karbon dioksida selama peluncuran. Namun, roket yang menggunakan bahan bakar padat seperti Delta II, menghasilkan emisi karbon dioksida yang signifikan selama peluncuran.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), roket Delta II menghasilkan sekitar 270 metric ton karbon dioksida selama peluncurannya. Selain bahan bakar padat, bahan bakar cair juga dapat menghasilkan emisi karbon dioksida selama peluncuran roket. Peluncuran roket menggunakan bahan bakar cair menghasilkan emisi karbon dioksida sekitar 90 ton untuk setiap ton bahan bakar yang digunakan.
Jenis roket lainnya seperti roket Falcon 9 milik SpaceX menggunakan campuran bahan bakar kriogenik yang terdiri dari oksigen cair (LOX) dan metana cair (CH4) sebagai propelan roketnya. Bahan bakar kriogenik ini dipilih karena dapat menghasilkan daya dorong yang tinggi dan mengurangi jumlah emisi gas rumah kaca dan zat beracun lainnya yang dihasilkan selama peluncuran. Menurut SpaceX, emisi karbon dioksida dari Falcon 9 selama peluncuran ke orbit rendah bumi dapat mencapai sekitar 168 metrik ton per penerbangan.
Proses pembuatan bahan bakar untuk roket dapat menghasilkan emisi karbon dioksida yang dapat berdampak pada lingkungan dan kesehatan manusia. Karbon dioksida adalah gas rumah kaca yang paling umum dan merupakan penyebab utama pemanasan global. Emisi karbon dioksida yang tinggi dapat merusak lapisan ozon, meningkatkan suhu Bumi dan mempercepat proses perubahan iklim, termasuk efek lanjutan seperti pencairan es di kutub, peningkatan permukaan air laut, dan perubahan pola cuaca. Selain itu, peluncuran roket juga dapat menghasilkan limbah berbahaya, polusi suara, dan pencemaran lingkungan.
Namun, saat ini ada beberapa upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak lingkungan dari peluncuran roket. Salah satunya adalah penggunaan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan seperti hidrogen dan metana. Misalnya, NASA sedang mengembangkan bahan bakar yang terbuat dari hidrogen hijau yang dihasilkan dari energi terbarukan. Beberapa perusahaan dan badan antariksa juga telah mengembangkan sistem roket terbaru yang lebih ramah lingkungan.
Salah satu contohnya adalah perusahaan penerbangan luar angkasa SpaceX, yang telah berhasil melakukan pengembalian dan pemulihan roket ke Bumi setelah peluncuran. Ini dapat mengurangi jumlah limbah dan emisi karbon yang dihasilkan selama pembuatan dan penggunaan roket. Selain itu, perusahaan roket Blue Origin milik Jeff Bezos juga telah mengembangkan roket reusable New Shepard yang menggunakan bahan bakar hidrogen dan oksigen cair. New Shepard juga dilengkapi dengan sistem pengereman dan pendaratan vertikal yang aman dan ramah lingkungan.
Selain itu, NASA juga telah mengembangkan roket terbaru yang lebih ramah lingkungan, yaitu Space Launch System (SLS). SLS menggunakan bahan bakar hidrogen dan oksigen cair dan memiliki tingkat efisiensi yang lebih tinggi daripada roket sebelumnya yang digunakan oleh NASA. Selain itu, SLS juga dirancang untuk dapat digunakan kembali beberapa kali, yang dapat mengurangi limbah dan emisi karbon dioksida.
Namun, upaya untuk mengurangi dampak lingkungan dari industri tidak hanya berkaitan dengan bahan bakar dan desain roket, tetapi juga melibatkan penanganan limbah dan pengelolaan lingkungan selama dan setelah peluncuran. Limbah berbahaya yang dihasilkan selama pembuatan dan pengujian roket harus dikelola dengan aman dan tepat. Selain itu, peluncuran roket harus dilakukan dengan memperhatikan lingkungan sekitarnya dan melakukan mitigasi dampak lingkungan yang mungkin terjadi.
Dampak lain terhadap lingkungan yang dihasilkan selama peluncuran roket adalah polusi suara yang dapat menyebabkan gangguan pada penduduk dan hewan sekitar. Pengembangan teknologi juga dapat membantu mengurangi dampak lingkungan dari peluncuran roket. Satu contoh adalah teknologi propulsi listrik, yang dapat menghasilkan tenaga yang diperlukan untuk peluncuran menggunakan sumber daya terbarukan seperti energi surya atau baterai. Teknologi ini masih dalam tahap pengembangan, namun diharapkan dapat memberikan solusi yang lebih ramah lingkungan di masa depan.
Selain upaya-upaya tersebut, terdapat beberapa kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dan badan antariksa untuk mengurangi dampak lingkungan dari peluncuran roket. Contohnya adalah program "Green Launch" yang diluncurkan oleh European Space Agency (ESA) pada tahun 2020. Program ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari peluncuran roket hingga 10% pada tahun 2025, dan hingga 30% pada tahun 2030. Selain itu, program ini juga bertujuan untuk mengurangi dampak lingkungan dari peluncuran roket pada lingkungan sekitarnya dengan memperbaiki proses pengelolaan limbah dan mengurangi polusi suara.
Namun, meskipun banyak upaya dilakukan untuk mengurangi dampak lingkungan dari peluncuran roket, hal ini tetap menjadi sebuah tantangan yang besar bagi industri antariksa. Proses pembuatan dan peluncuran roket memerlukan sumber daya yang besar dan sangat kompleks, sehingga tidak selalu mudah untuk mengurangi dampak lingkungan secara signifikan. Selain itu, biaya pengembangan dan produksi teknologi yang lebih ramah lingkungan juga dapat menjadi hambatan yang signifikan dalam implementasi solusi yang lebih berkelanjutan.
Kerja sama dan kolaborasi antara pemerintah, badan antariksa, industri antariksa, dan masyarakat sangatlah penting untuk mencapai tujuan yang lebih berkelanjutan dalam eksplorasi luar angkasa. Dengan upaya yang terus menerus dan kolaborasi yang kuat, diharapkan dapat ditemukan solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan dalam mengurangi dampak lingkungan dari peluncuran roket, sehingga eksplorasi luar angkasa dapat dilakukan dengan cara yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Image: SpaceX
Sumber:
- Boucher, O., Friedlingstein, P., Collins, B., & Shine, K. P. (2009). The indirect global warming potential and global temperature change potential due to methane oxidation. Environmental Research Letters, 4(4), 044007.
- Dallas, J. A., Raval, S., Gaitan, J. A., Saydam, S., & Dempster, A. G. (2020). The environmental impact of emissions from space launches: A comprehensive review. Journal of Cleaner Production, 255, 120209.
- Hartmann, W. K. (1984). Space exploration and environmental issues. Environmental Ethics, 6(3), 227-239.
- Law, J., Van Baalen, M., Foy, M., Mason, S. S., Mendez, C., Wear, M. L., ... & Alexander, D. (2014). Relationship between carbon dioxide levels and reported headaches on the international space station. Journal of occupational and environmental medicine, 56(5), 477-483.
- Wilson, E., Burkhardt, J., Wolter, K., & Cebulla, D. (2015). Environmental impacts of rocket launches: a review of the literature. Journal of Cleaner Production, 103, 199-210.
0 Comments