Palemahan - Banjir lumpur panas muncul pertama kali sekitar pukul 05.00 WIB pada tanggal 29 Mei 2006 di area persawahan Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Posisi tersebut berjarak 150 meter dari proyek yang dikerjakan oleh Lapindo Brantas Inc. Peristiwa ini tentunya menjadi suatu bencana ketika lumpur panas tersebut mulai menggenangi kawasan permukiman dan industri. Hal ini diakibatkan oleh volume lumpur yang keluar mencapai 5.000-50.000 m3/hari atau setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas yang berukuran besar (Elika et al., 2019).
Bencana ini semakin rumit ketika dikaitkan dengan wacana-wacana pembangunan, negara, maupun ruang publik. Hal ini menjadi semakin sulit karena pemilik saham terbesar Lapindo pada saat itu adalah seorang Menteri yang menjabat yaitu Aburizal Bakrie. Kondisi ini menimbulkan isu negatif terkait adanya usaha menggunakan legitimasi kekuasaan oleh pemerintah yang berkuasa untuk melindungi satu pihak (Santoso, 2007).
Setelah lumpur-lumpur panas tersebut menenggelamkan sejumlah desa dan memaksa penduduk untuk mengungsi dalam waktu yang tidak bisa ditentukan, mulailah timbul konflik dalam masyarakat. Konflik tersebut melibatkan masyarakat dengan pemerintah setempat. Mereka mempertanyakan siapakah pihak yang bertanggung jawab dalam mengganti rugi tanah dan bangunan mereka yang lenyap dihadang banjir lumpur. Tuntutan ini semakin kuat karena sebanyak 1.873 buruh kehilangan pekerjaannya. Konflik antar-warga semakin menjadi-jadi ketika Presiden menandatangani Peraturan Presiden 14/2007 yang menjabarkan, Lapindo harus membeli tanah dan bangunan warga empat desa yang terendam lumpur (pasal 15). Peraturan inilah yang kerap digunakan Lapindo untuk membela diri dengan dalih bahwa tidak pernah ada ganti rugi.
Selain menimbulkan dampak buruk terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar, bencana lumpur lapindo ini juga membawa dampak terhadap ekologi. Kerusakan lingkungan yang menenggelamkan beberapa desa di Kecamatan Sidoarjo mendorong pemerintah untuk mencari solusi terbaik dalam penanganan pasca bencana terutama dalam menyelamatkan ekosistem. Akhirnya pada tahun 2012 dibuatlah masterplan area luar terdampak Lumpur Sidoarjo yang digunakan sebagai salah satu rencana pengembangan wisata. Salah satu rencana tersebut adalah membuat taman geologi (geopark) (BPLS, 2013).
Untuk membangun geopark ada 3 hal yang harus dipenuhi yaitu aspek konservasi, aspek edukasi, serta aspek ekonomi (UNESCO, 2010). Aspek konservasi dapat dipenuhi dengan merealisasikan pembuatan museum geologi, aspek edukasi dapat diwakili dengan mewadahi pusat penelitian, dan aspek ekonomi dapat diimplementasikan dengan mengembangkan pusat souvenir ataupun pusat oleh-oleh khas Sidoarjo.
Muyassaroh et al. (2014) membuat rancangan geopark melalui beberapa tahapan yaitu analisis dan konsep tapak, analisis bangunan, serta analisis dan konsep material. Sehingga didapatkan design kawasan Taman Geologi, Design Interior dan Eksterior Museum Geologi. Hasil dari rancangan ini tentunya diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam mengembangangkan wisata berbasis lingkungan demi mengangkat ekonomi masyarakat terdampak bencana lumpur lapindo.
Referensi Tulisan:
[BPLS] Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo. 2013. Studi Pemanfaatan Area Terdampak. Diakses pada 11 Oktober 2019.
Elika, E.P., R. Resnawaty, A.S. Gutama.
2017. Bencana Sosial Kasus Lumpur PT.
Lapindo Brantas Sidoarjo, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Vol 4, No.2. Unpad:
Bandung.
Muyassaroh, A., A.M. Nugroho, S. Ramdlani.
2014. Taman Geologi (Geopark) Sidoarjo
dengan Pemafaatan Material Lumpur Lapindo. UB: Malang
Rizki, A.W 2016. Pengelolaan Objek Wisata Lumpur Lapindo Perspektif Maqashid Syariah.
UIN Maulana Malik Ibrahim: Malang.
Santoso, V. 2007. Harga Industrialisasi Sektor Migas. Semburan Lumpur Lapindo sebagai
Potret Kelemahan Negara dalam Menghadap Korporasi Ekstraktif Hidrokarbon.
CSR Review:4-9.
UNESCO. 2010. Guidelines and Criteria
for National Geoparks Seeking Unesco’s Assistance to Join The Global Geopark
Network (GGN). Paris
Referensi Gambar: Pixabay
0 Comments